Sejarah
perkembangan akuntansi, yang berkembang pesat setelah terjadi revolusi
industri, menyebabkan pelaporan akuntansi lebih banyak digunakan sebagai
alat pertanggungjawaban kepada pemilik modal (kaum kapitalis) sehingga
mengakibatkan orientasi perusahaan lebih berpihak kepada pemilik modal.
Dengan keberpihakan perusahaan kepada pemilik modal mengakibatkan
perusahaan melakukan eksploitasi sumber-sumber alam dan masyarakat
(sosial) secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan alam dan pada akhirnya mengganggu kehidupan manusia.
Kapitalisme, yang hanya berorientasi pada laba material, telah merusak
keseimbangan kehidupan dengan cara menstimulasi pengembangan potensi
ekonomi yang dimiliki manusia secara berlebihan yang tidak memberi
kontribusi bagi peningkatan kemakmuran mereka tetapi justru menjadikan
mereka mengalami penurunan kondisi sosial [Galtung & Ikeda (1995)
dan Rich (1996) dalam Chwastiak(1999)].
Di dalam akuntansi konvensional (mainstream accounting), pusat perhatian yang dilayani perusahaan adalah stockholders dan bondholders sedangkan pihak yang lain sering diabaikan. Dewasa ini tuntutan terhadap perusahaan semakin besar. Perusahaan diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan manajemen dan pemilik modal (investor dan kreditor) tetapi juga karyawan, konsumen serta masyarakat. Perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap pihak-pihak di luar manajemen dan pemilik modal. Akan tetapi perusahaan kadangkala melalaikannya dengan alasan bahwa mereka tidak memberikan kontribusi terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini disebabkan hubungan perusahaan dengan lingkungannya bersifat non reciprocal yaitu transaksi antara keduanya tidak menimbulkan prestasi timbal balik.
Tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) semakin memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Oleh karena itu dalam perkembangan sekarang ini akuntansi konvensional telah banyak dikritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga kemudian muncul konsep akuntansi baru yang disebut sebagai Social Responsibility Accounting (SRA) atau Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial.
Owen (2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan perusahaan-perusahaan lebih memberikan perhatian yang besar terhadap pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen risiko dan keunggulan kompetitif nampak menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan informasi sosial. Dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Finch (2005) menunjukkan bahwa motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial lebih banyak dipengaruhi oleh usaha untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder mengenai kinerja manajemen dalam mencapai manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang.
Standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial terutama informasi mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, akibatnya yang terjadi di dalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Perusahaan akan mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila manfaat yang akan diperoleh dengan pengungkapan informasi tersebut lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mengungkapkannya maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut.
Belkaoui (1989) menemukan hasil (1) pengungkapan sosial mempunyai hubungan yang positif dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya dalam laporan sosial, (2) ada hubungan positif antara pengungkapan sosial dengan visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan lebih banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil, (3) ada hubungan negatif antara pengungkapan sosial dengan tingkat financial leverage, hal ini berarti semakin tinggi rasio utang/modal semakin rendah pengungkapan sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya- biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).
Eipstein & Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual tertarik terhadap informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi tersebut berupa keamanan dan kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain itu mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan dengan karyawan dan masyarakat. Hackston & Milne (1996) menyajikan bukti empiris mengenai praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di New Zealand serta menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik perusahaan dengan
pengungkapan sosial dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan adanya konsistensi penelitiannya dengan penelitian yang sudah dilakukan di negara lain. Ukuran perusahaan dan industri berhubungan dengan jumlah pengungkapan sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi antara ukuran perusahaan dan industri menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih kuat antara perusahaan dalam industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang low-profile.